Ini adalah hari
ke-lima untuk mereka barisan para mahasiswa-mahasiswa calon para medis yang
sedang melakukan aktivitas PKL (Praktek Kerja Lapangan) di tempat kerja gue
ini. Yup! Setiap harinya, mahasiswa-mahasiswa PKL ini memang rolling secara
ganti-gantian gitu untuk memasuki tiap-tiap ruangan yang ada di sini. Pagi ini,
giliran cewe berkacamata dengan tinggi sekitar 160cm ini yang memasuki ruangan
LAB gue ini.
“Siang banget, kak,
datengnya?” Itulah sapa perdananya ke gue pagi ini. Iya, emang apes banget
nih anak! Belum apa-apa udah kena ledek aja gue sama dia. #kampret. Mana rame
banget lagi pasien-pasien lab gue yang berjejer rapih nggak karu-karuan
antri di ruang tunggu pasien. Belum lagi ditambah beberapa sampel darah pasien
rawat inap yang udah standby di atas
meja gue ini. Sampel yang sedari tadi menunggu dengan sabarnya buat gue
kerjakan. Aaaagggghhhhtttttt! #doublekampret!
Untuk menyingkat
waktu, setelah selesai menaruh tas gue pun langsung buru-buru menyiapkan
peralatan kerja gue dan meminta tolong ke dia untuk bantuin gue mengambil
beberapa sampel darah pasien yang telah mengantri panjang lebar di
luaran itu. Dan itu jugalah sapa balasan gue ke dia untuk pagi ini. Lebih
tepatnya; siang ini. Iya, soalnya gue datengnya aja udah siang banget! Ckckck.
Sebenernya gue kayak gitu ke dia bukan karena gue blagu. Bukan karena gue lagi
sariawan, bukan juga karena gue lagi puasa mutih (dan entah apa juga
hubungannya sama puasa mutih?!). Masalahnya: gue itu tipikal orang yang agak
sulit untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang baru. Dengan kata lain;
sebenarnya gue nggak pernah tertarik untuk mengobrol, ataupun
berbincang-bincang panjang lebar sama orang yang belum begitu gue kenal. Gitu.
Semakin siang,
semakin ramai saja pasien yang berdatangan. #efeksenin. Gue pun mulai
keteteran. Masing-masing nama pasien tersebut langsung gue panggilin masuk
satu-persatu menuju ruangan (yang tentunya berdasarkan daftar urut antrian
mereka). Selepas dari gue selesai mengambil sampel darah mereka itu, tibalah
kini saatnya giliran gue untuk mulai fokus menaburkan-naburkan oli bekas di
depan ruangan LAB supaya mereka semua nantinya pada kepeleset melakukan
pemeriksaan.
Sambil kembali
mengerjakan tumpukan sampel-sampel tadi, perlahan ia pun mendekat ke arah gue.
Nggak lama kemudian, ia pun terlihat mulai memperhatikan apa yang sebenarnya
sedang gue kerjakan saat ini. “Itu buat meriksa
apaan, Kak?” Pertanyaan kepo pertamanya hari ini. Gue pun mencoba untuk
menjelaskan apa yang baru saja ditanyakannya barusan itu. Menjelaskan
menggunakan bahasa gue. Bahasa yang tidak terlalu berbelit-belit (yang tentunya
juga tidak menyimpang dari prinsip teori) untuk setiap jenis dari masing-masing
pemeriksaan itu sendiri. Maksudnya; agar sekiranya nih anak mudah memahami (dan
menyernanya) dengan baik apa yang gue sampaikan kepadanya. Sekali lagi; “gue emang nggak
pernah tertarik sama orang yang belum begitu gue kenal.”
Waktu terus
berjalan. Satu-persatu pemeriksaan sampel darah untuk tiap-tiap pasien tadi
akhirnya hampir semua terselesaikan. Kini hanya tinggal menunggu beberapa hasil
untuk pemerikasaan DL (Darah Lengkap)
pasien rawat inap saja yang masih menunggu waktu bacanya. (Iya, soalnya di sini
untuk pemeriksaan lab khusus DL-nya masih
serba manual gitu. Jadi butuh waktu sekitar satu jam-an gitu untuk menunggu
pembacaan hasilnya). Sambil menunggu pembacaan hasil, gue berjalan menuju meja
kerja untuk menuliskan beberapa hasil pemerikasaan-pemerikasaan tadi di dalam buku register
lab. Cewe ini pun kembali menguntil. Mengikuti ke mana saja gue bergerak.
Berhubung gue takut nantinya lab ini di acak-acak sama dia dibilang
blagu, gue pun membuka obrolan ke dia dengan berkata: “kalian berapa lama
PKL di sini?” Tanya gue ke dia sambil kembali menuliskan hasil pemeriksaan
tadi di buku register lab. “Satu bulan, Kak”.
Balesnya ngejawab ke gue, tapi matanya fokus ke hape. Pengen... banget rasanya
gue jambak rambut nih anak. Berhubung dia-nya pake jilbab, apalah daya, niat
buat ngejambak rambut pun urung lah sudah. Ckckck.
Waktu kembali
terus berjalan.
Semua sampel
untuk tiap-tiap jenis pemeriksaan tadi pun semuanya sudah terselesaikan.
Sekarang waktunya sejenak untuk menghirup napas lega! Sambil sedikit
bertanya-tanya masalah ilmu Laboratorium ke gue (yang sebenarnya ia baru saja
bertanya kepada orang yang salah), kami berdua pun kembali melanjutkan beberapa
percakapan yang sempat terpotong tadi. Semakin siang, semakin panjang pula
percakapan demi percakapan yang kami bicarakan. Dalam beberapa
percakapan-percakapan itu, ada pula terselip curhatan colongan darinya. Ia
bercerita-cerita sedikit mengenai kampus. Lebih tepatnya tentang
keluhan-keluhannya saat berada di kampus. Mungkin lebih tepatnya lagi: bisa
dibilang curhatan terselubungnya mengenai kampus!
Dia bercerita
mulai dari rasa jenuhnya dengan rutinitas kampus yang gitu-gitu aja. Seperti:
tiada hari tanpa nyatet. Tiada hari tanpa konsul. Sering di-PHP-in dosen,
praktek sana-sini, bahkan ia juga bercerita ke gue sempat pernah ingin keluar
dari kampus karena merasa nggak kuat dengan semua rutinitas harian yang
membosankan itu. Anehnya, dia bisa bertahan sampai sekarang. Sampai masa PKL
seperti sekarang. Yang artinya: detik-detik masa mahasiswa tingkat akhir yang
hanya tinggal menghitung hari lagi ini akan segera berakhir. Dari semua
keluhannya itu, entah kenapa gue malah jadi kebawa suasana (Bukan baper, ya!
Tolong. Tolong dipahami!). Gue menanggapi semua cerita-ceritanya itu dengan
penuh penghayatan. Serius menyimak. Mendengarkan dengan baik. Bahkan gue sampe
memberikan beberapa masukan-masukan (yang sebenernya gue sendiri juga mau
muntah waktu bilang kek gitu ke dia) yang bertujuan sebagai penyemangat
untuknya.
Tetiba saja gue
jadi keinget ketika gue masih berada di posisinya saat ini. Sewaktu masih
kuliah dulu. Dan yang juga tentunya: saat masih PKL seperti yang sedang ia
jalani saat ini dulu. Waktu itu gue juga pernah merasakan hal yang sama seperti
apa yang dicerikannya hari ini ke gue. Gue sempet pernah freak dengan
rutinitas di masa-masa perkuliahan dulu. Sempet juga beberapa kali mengeluh
sama bokap-nyokap pengen keluar (dan pengen pindah kuliah) karena ngerasa ga
kuat bertahan untuk meneruskan kuliah gue di bidang kesehatan. Di sisi lain,
gue kembali berfikir. Berkali-kali pula gue mencoba untuk mengurungkan niat gue
itu karena nggak ingin mengecewakan kedua orangtua gue. Sempet juga pernah
ngeluh sana-sini sama temen-temen gue. Sama temen-temen akrab gue. Bahkan gue
juga sempat pernah mengeluhkan hal yang sama dengan kakak ruangan sewaktu gue
masih PKL dulu. Sampai pada akhirnya, gue bisa bertahan hingga masa PKL. Masa
di mana yang telah menunggu hitungan hari saja untuk bisa mencapai garis finish! (baca:
detik-detik masa wisudaan). Persis! Ini semua sama persis kayak apa yang pernah
gue rasakan beberapa tahun yang lalu.
Gue jadi keinget
sewaktu gue ngeliatin dia yang bawaannya tremor (grogi)
pas ngambil darah pasien tadi. Gue ingat betul. Gue juga pernah merasakan hal
yang sama. Gue juga pernah merasakan betapa groginya sewaktu awal mula perdana
gue mengambil darah pasien sewaktu PKL dulu. Gue juga jadi keinget masa di mana
gue merasa seperti terasingkan
dari beberapa temen-temen gue sewaktu melakukan praktikum di kampus dulu.
Terasingkan karena gue yang dianggap nggak bisa melakukan pengambilan darah.
Khususnya sewaktu melakukan praktikum Hematologi
(darah) dulu.
Gue juga masih
ingat sewaktu gue dulu mengeluhkan kejenuhan gue saat menjalani perkuliahan
yang kesannya begitu monoton buat gue. Inget waktu harus bolak-balik kampus
untuk sekedar konsul Tugas Akhir semasa PKL. Ingat waktu gue bertanya ini-itu
sama kakak ruangan gue sewaktu PKL. Ingat waktu nyatet ini-itu semasa
praktikum, ngerasa kaku sama kakak ruangan, memaksakan bangun pagi biar nggak
telat, dan semua rutinitas harian kampus yang hampir membuat gue stres! Selain
daripada itu, gue juga pernah kok ngerasain grogi seperti yang dirasakannya
sewaktu berhadapan dengan pasien tadi. Pernah juga nge-blenk sewaktu
ditanya ini-itu sama kakak ruangan. Waktu PKL dulu, gue juga pernah, kok,
nyolong-nyolong waktu buat nyempetin ngabarin pacar. Loh? Oke, kayaknya kita
abaikan saja baris kalimat yang terakhir ini! Pokoknya, semua! Semuanya ini
persis kayak apa yang pernah gue alami dulu!
Gue masih
menyimak semua yang dibicarakannya ke gue ini. Menyimak sambil mem-flashback ingatan
gue ke masa-masa yang sedang dibicarakannya itu. Masa yang dulunya pernah gue
alami. Sambil terus membayangkan, gue nggak nyadar, ternyata gue semakin
menyelam jauh kebawa suasana.
***
Yup! Itulah nama
lengkap cewe ini. Cewe yang awal mulanya gue anggep asing ini, ternyata
berbanding terbalik dari apa yang sempat pernah gue fikirkan tentangnya jauh
sebelum ini. Gue awalnya beranggepan dia adalah cewe yang bakalan gupek sendiri
dengan kelakuan super hebohnya pas awal-awal masuk ke ruangan lab beberapa hari
yang lalu untuk sekedar mengantarkan sampel darah dari ruang Balai Pengobatan
(BP) yang berada di lantai bawah. Nggak tahunya, anak ini bener-bener pendiem.
Dalam artian, bukan karena dia selalu nahan kentut saat berada di dalam ruangan
gue! Bukan kayak gitu maksud gue! Maksudnya, setelah gue menilai dengan baik
(cailah, bahasa gue!), anak ini tipikal cewe yang nggak terlalu suka banyak
basa-basi. Nggak suka sama hal yang terlalu berbelit-belit. Tipe cewe yang
males ngomongin hal-hal yang dianggepnya nggak terlalu penting untuk dibahas
(membuang-buang waktu). Tipe cewe dengan rasa ingin tahu yang hebat. Tipe cewe
yang kalo ngomong seperlunya saja. Lumanyan rajin. Tipe cewe yang selalu bisa
membagi waktu untuk tugas-tugas pokoknya. Peka dalam keadaan. Contoh kecilnya:
sesuatu yang belum sempat bisa gue kerjakan di dalam ruangan, ia pun membantu
mengerjakan kerjaan-kerjaan gue itu. Mengerjakan tanpa harus gue meminta tolong
terlebih dahulu. Ngebantu buat nge-garis-garis-in buku register lab, misalnya.
Inti dari segala inti, semua berbanding terbalik dari apa yang gue fikirkan
sebelumnya. Kagum? Jujur, iya. Jujur gue kagum sama anak ini.
Semenjak dari hari
pertama kalinya Ratu memasuki ruangan gue, semakin hari pula gue belajar
menyesuaikan diri terus untuk keesokan harinya sama mereka semua yang sedang
melakukan PKL di sini. Membiasakan diri untuk mencoba peduli dengan orang-orang
baru. Komunikasi dengan orang-orang baru. Menyesuaikan diri dengan orang-orang
yang belum sepenuhnya gue kenal. Beradaptasi, dan segala macam hal yang
sebelumnya gue sendiri pun bingung untuk menjelaskan karakter asli gue yang
sebenarnya di dalam tulisan ini. Lambat laun, seiring pergantian hari ke hari,
gue pun agak
sedikit peduli sama mereka bertujuh. Mulai, dan bahkan semakin akrab. Dan yang
kemudian juga mencoba untuk bisa sedikit welcome dari
sifat gue yang sebenarnya lebih sering menyendiri dengan aktifitas gue.
Aktifitas yang sibuk dengan dunianya sendiri. Cuek dan nggak terlalu peduli
dengan keadaan-keadaan yang menurut gue semuanya itu sangat membosankan.
Oh, iya. Bisa
jadi mereka bertujuh ini adalah Mahasiswa PKL untuk yang pertama (atau mungkin
juga untuk yang terakhir kalinya dari mahasiswa-mahasiswa PKL sebelumnya) yang
dengan sukses sedikit bisa merubah cara adaptasi gue. Soalnya tahun ini gue mau
ngelanjutin kuliah gue lagi. Yang jadi masalahnya: “gue takut tempat di
mana gue bekerja saat ini tidak mengizinkan gue untuk kuliah,” itu aja,
sih. Soalnya tahun ini temen-temen gue di tempat gue kerja ini rata-rata pada
mau lanjut kuliah lagi. Kalo semua rata-rata pada lanjut, otomatis bakal
kekosongan banyak tenaga medis di sini. Kalo pada kuliah semua, yang mau nge-back-up siapa?
Jelas ini akan menjadi pertimbangan untuk Pak Kepala tempat kerjaan gue. Kenapa
gue sebut mereka adalah mahasiswa PKL pertama dan terakhir? Ya kalo gue
diizinin kuliah sambil kerja, itu artinya mereka adalah mahasiswa PKL yang
pertama kalinya berhasil membawa gue ke suasana adaptasi untuk bisa
mengakrabkan diri dari akifitas kesendirian gue selama ini. Kalo enggak boleh,
ya itu tadi, pertama, dan sekaligus menjadi mahasiswa untuk yang terakhir
kalinya juga gue bisa seperti itu selama gue bekerja di sini. Masalahnya, gue
bener-bener mau lanjut kuliah (lagi). Yang artinya: seandainya gue tidak
diizinkan untuk kuliah (yang mungkin ada beberapa faktor alasan), mungkin gue
akan mencari pengganti posisi gue di tempat ini secepat-cepatnya. Yah, gue nggak
pernah tahu gimana kedepannya.
Balik lagi ke
Ratu.
Mungkin dengan
hadirnya Ratu dan ke-enam teman-temannya ini, sedikit merubah ‘diamnya’ gue
menjadi sedikit ‘agak’
peduli dengan orang yang belum begitu gue kenal. Melihat cara pengambilan
darahnya yang tremor
itu, gue sama sekali nggak pernah memandang atau pun meremehkannya. Karena itu
pula, selain dari teknik pengambilan darah, Ratu jugalah yang paling banyak gue
berikan catatan-catatan mengenai jenis pemeriksaan lab. Semua itu berawal dari
rasa ingin tahunya yang begitu tinggi tadi. Sekali lagi. Dengan hadirnya Ratu,
setidaknya gue mulai bisa ‘agak’ sedikit
peduli dengan orang yang belum begitu gue kenal. Dan untuk menjaga nama baik Almamater yang
dipakainya, kita samarkan saja nama kampusnya menjadi: “Kampus Butiran Debu”.
Oke. Gue bingung mau ganti nama kampusnya pake nama apaan. Anggep aja ini bukan
nama samaran, yaaa!!
Waktu semakin
cepat berlalu.
Ada satu hal
memang yang belum sempat gue katakan kepada Ratu tentang teknik pengambilan
darah itu. Sebuah kalimat yang ingin gue sampaikan sebelum ia benar-benar pergi
menjauh melangkahkan kedua kakinya meninggalkan ruangan gue. Waktu itu, sebelum
ia berpamitan pergi dari ruangan, gue cuma mau bilang ke dia: “sampai jumpa di hari
lain” Hari di mana tak lagi ia akan berkata: “Maklumin, ya, Kak,
namanya juga masih proses” Hari di mana gue berharap kata-kata ‘proses’ yang
pernah diucapkannya ke gue tadi, telah bermetamorfosis
dengan sendirinya berubah menjadi kalimat sapa. Seperti: “Apakabar, Kak? Alhamdulillah,
sekarang gue udah sukses!” Aamiin.
Gue tahu, hidup
ini memang butuh banyak sekali proses. Gue juga menganggap wajar dengan semua
ke-grogi-an mereka ketika melakukan aktifitas PKL di sini. Karena apa? Karena
gue pun pernah merasakan hal yang sama. Memang ga banyak ilmu-ilmu medis
tentang Pemeriksaan Laboratorium yang bisa gue berikan kepada mereka, tapi
setidaknya gue bisa memberikan ilmu cara pengambilan darah yang gue kembangkan
sendiri. Sebuah teknik pengambilan darah yang gue beri nama: “Pola BL”. Sebuah
ilmu yang dulunya sempat pernah membuat gue merasa seperti terasingkan ke suatu
tempat. Sebuah tempat yang begitu asing. Sepi. Sunyi. Seperti tak berpenghuni.
Yang kemudian dengan berjalannya waktu, gue berhasil menemukan beberapa orang
di tempat itu. Beberapa gelintir orang yang mau mengulurkan tangannya untuk
membebaskan gue dari keterpurukan itu. Dari mereka dan dari usaha keras gue,
kini keterpurukan itu tak lagi gue rasakan. Dan dari semua pengalaman itu pula
lah, gue banyak belajar.
Seperti kata gue
barusan. Semua ini tentang proses. Dan mereka saat ini sedang berjalan melalui
proses-proses itu. Proses yang nanti dengan sendirinya membuat mereka akan
semakin jauh berkembang dari pengalaman yang mereka dapati hari ini.
***
Mungkin segini
aja dulu flashback
yang bisa gue abadikan di tulisan ini. Sebuah ingatan gue tentang mereka
beberapa minggu yang lalu saat masih berada di sini. Saat masih PKL di tempat
ini. Di ruangan gue ini. Di ruangan lab yang selalu sunyi sebelum hadirnya
mereka ke tempat ini. Entah kenapa malam ini gue mau ngebuat tulisan ini.
“War-na ba-ru”. Iya, bisa saja karena alesan itu. Karena hadirnya warna baru
yang sempat terjadi dikeseharian gue untuk beberapa minggu yang lalu itu lah
yang membuat lahirnya tulisan ini. Selain daripada tulisan ini, gue masih
nyimpen chat bbm
terakhir dari Ratu sebelum ia berpamitan untuk hari terakhirnya PKL dari
ruangan gue. Ini isi chat-nya:
Chat Ratu Via BBM |
Yup! Mungkin gue
yang harus banyak-banyak berterima kasih kepadanya. Karena dengan pernah mengenalnya,
setidaknya gue bisa belajar: “suatu hal yang
menurut kita nggak menarik, nggak bisa kita nilai begitu saja sebelum kita
benar-benar sempat mencobanya.” Sekali lagi. Terima kasih untuk kalian
semua. Terima kasih juga ya, untuk semua adaptasi baru ini, Ratu Indaman.
Selamat malam. :
))